Terhitung
tujuh ratus tiga puluh hari lewat setelah pertama kali Tuhan
memperkenalkan kami. Lalu kita, tanpa aba-aba, tanpa,”Maukah kamu jadi
pacarku?”, tanpa basa basi, memutuskan untuk saling mengisi.
Entah
atas dasar apa semesta membiarkan kita mampu melewati hal-hal yang sama
sekali tidak pernah kita lewati sebelumnya, mungkin kamu adalah
pelajaran bagiku, sedangkan aku adalah titik balik segala ideologimu.
Atau mungkin saja kita hanya segelintir cerita yang dibesar-besarkan
saja.
Apa
pun itu, terima kasih sudah bertahan. Walau kamu tahu sendiri bagaimana
kamu dan aku pernah hampir membuat kesalahan besar di puluhan hari awal
kita bersama.
Coba
kamu tengok lagi ke belakang, dua orang anak manusia, sepasang
laki-laki dan perempuan, entah secara sengaja —atau mungkin tidak,
dihadapkan dengan perubahan paling besar dalam hidup mereka.
Lalu
kamu akan mengangguk-angguk wajar, mengingat bagaimana cerobohnya kita
dan tidak sabarannya kita dalam menghadapi apa yang disajikan hidup
dihadapan kita.
Kita
bukan satu-satunya yang punya banyak mimpi sederas hujan. Kita juga
bukan satu-satunya yang gemar menerbangkan doa ke lipatan langit penuh
harapan. Tapi mungkin kita termasuk dari sebulir, bahkan tak sampai
segelintir dari mereka yang tetap keras kepala mempercayai apa yang
sedang dalam genggaman mereka.
Kamu
tahu persis betapa kita sering patah, namun tidak pernah benar-benar
pecah. Meski amarah bahkan lelah sudah habis menjarah tenaga.
Namun kenapa tidak kita lepaskan saja biar sudah? Biar tidak perlu lagi susah-susah?
Entah kalau jawabanmu, tapi bagiku…
Melepaskanmu,
kita, apa pun yang menurut mereka cinta, lebih mudah daripada harus
menyesal sepanjang Tuhan masih meniupkan hidup. Dan aku? Terlalu hebat
untuk menyesal.
Dan kamu, laki-laki yang pantas kuserahkan seluruh kesombonganku.
Tujuh ratus tiga puluh sekian hari bukan yang pertama, tapi ingatlah, kita lebih besar dari selewat kata.
Love,
Sebutlah apa pun yang kamu suka.
0 komentar:
Posting Komentar